Dalamnya Jurang Antara Big Tech dan Pemerintah: Picu Kesenjangan Digital
Perkembangan teknologi yang pesat telah membawa perusahaan besar teknologi (Big Tech) seperti Google, X (sebelumnya Twitter), Facebook, dan TikTok ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di seluruh dunia. Platform-platform ini menjadi alat penting untuk mengakses informasi dan berkomunikasi, baik dengan keluarga, teman, maupun kolega yang berada di lintas negara. Namun, pertumbuhan yang begitu pesat ini juga menciptakan tantangan. Terutama bagi pemerintah Janda Kembar yang berusaha mengimbangi inovasi tanpa mengorbankan privasi dan kesejahteraan masyarakat.
Kesenjangan Regulasi antara Big Tech dan Pemerintah
Seiring munculnya undang-undang baru terkait perlindungan data dan persaingan, perusahaan teknologi semakin merasa terancam oleh potensi pembatasan. Salah satu contoh yang menonjol adalah regulasi terkait pengelolaan data. Pemerintah di seluruh dunia, seperti Uni Eropa dengan Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR), berupaya melindungi privasi individu. GDPR memberi hak kepada individu untuk mengakses, memperbaiki, dan menghapus data mereka, serta mewajibkan perusahaan untuk mendapatkan persetujuan eksplisit saat mengumpulkan informasi pribadi.
Namun, Big Tech sering kali berargumen bahwa desentralisasi data Joker Merah yang di usulkan oleh pemerintah dapat menghambat operasi mereka dan menurunkan efisiensi teknologi. TikTok, misalnya, menanggapi kekhawatiran terkait keamanan data dengan memindahkan data pengguna Amerika Serikat ke dalam pengelolaan Oracle, sebuah perusahaan asal AS, untuk menjawab isu keamanan nasional.
Regulasi Konten dan Kebebasan Berpendapat
Selain masalah data, regulasi terkait konten di platform media sosial juga menjadi sumber konflik antara pemerintah dan Big Tech. Beberapa negara mulai memberlakukan kebijakan yang lebih ketat untuk memerangi ujaran kebencian, misinformasi, dan konten politik yang dianggap berbahaya. Misalnya, Brasil sempat melarang X karena perusahaan tersebut menolak untuk menghapus akun yang diduga menyebarkan misinformasi pemilu. Di Australia, undang-undang baru memungkinkan pemerintah mendenda perusahaan media sosial hingga 5% dari pendapatan global mereka jika gagal menangani misinformasi berbahaya.
Namun, perusahaan teknologi seperti X dan Meta (Facebook) sering kali memprotes kebijakan Draw SGP ini dengan dalih kebebasan berpendapat. Elon Musk, pemilik X, bahkan menyebut Mahkamah Agung Brasil sebagai “diktator” setelah perusahaannya di larang di negara tersebut. Bentrokan antara kebijakan pemerintah dan pandangan perusahaan teknologi mengenai kebebasan berekspresi menunjukkan betapa sulitnya mencapai keseimbangan antara regulasi konten dan kebebasan berbicara.
Dominasi Pasar dan Persaingan Tidak Sehat
Selain itu, banyak pemerintah berupaya mengekang dominasi pasar perusahaan teknologi besar yang sering kali di anggap melakukan praktik monopoli. Uni Eropa, misalnya, memberlakukan Undang-Undang Pasar Digital (DMA) untuk memastikan persaingan yang adil di pasar digital. Melalui DMA, perusahaan seperti Apple dan Google di paksa untuk membuka akses bagi aplikasi pihak ketiga dalam ekosistem mereka. Hal ini bertujuan untuk mencegah perusahaan mendominasi pasar dan membatasi pilihan konsumen.
Tantangan Tata Kelola Lintas Batas
Tata kelola lintas batas menjadi tantangan besar dalam hubungan antara Big Tech dan pemerintah. Perbedaan kebijakan antara negara-negara menyebabkan perusahaan teknologi harus menyesuaikan diri dengan berbagai regulasi yang berbeda di setiap wilayah operasinya. Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Eropa telah menjadi contoh global, menginspirasi negara-negara lain untuk mengadopsi kebijakan serupa. Namun, hal ini tidak sepenuhnya menghilangkan gesekan antara perusahaan teknologi dan pemerintah dalam hal tata kelola data dan konten.
Jurang antara Big Tech dan pemerintah Ki Buyut yang semakin dalam menciptakan tantangan besar dalam mengatasi kesenjangan digital. Ketika perusahaan teknologi terus berkembang dan memperluas pengaruhnya, regulasi yang lebih ketat di perlukan untuk melindungi kepentingan publik. Namun, regulasi ini juga harus di selaraskan dengan kebutuhan inovasi teknologi agar dapat menciptakan ekosistem digital yang aman dan adil bagi semua pihak.